Sajak tentang si sombong yang galau.

Mungkin dia terkuatkan.
Dan mereka yang melihat memandangnya bangga.
Mungkin dia terselamatkan.
Dan mereka yang melihat menyalut dan menangguk-angguk.
Entah itu anggukan rasa kasihan, pemahaman, atau semata ikut-ikutan.

Jangan pernah jelaskan tentang rasa sakit.
Dia sudah cukup mengerti. Ya. Mungkin sok tau.
Jangan pernah kuliahkan tentang harapan.
Dia sudah cukup menginvestasi. Ya. Mungkin sok kaya.
Jangan pernah menatar tentang cinta.
Dia sudah cukup berkorban. Ya. Mungkin sok dermawan.
Jangan pernah teriakkan tentang perjuangan.
Dia sudah cukup berpeluh dan menangis darah. Ya. Mungkin sok pahlawan.

Ketika matahari tidak lagi bisa menghangatkan.
Dan biru langit malah membirukan hati.
Saat sabit dan kejora tidak cukup untuk menerangi malam.
Ketika hujan tidak lagi memberi ketenangan.
Saat hembusan angin hanya menjadi intermezzo instan.
Pelangi hanya seperti permen mint yang dalam hitungan menit habis.
Dan 'kosong' dan 'sunyi' menjadi kata kerja aktif.

Dasar apatis.

Mimpi yang dulu berwarna, sekarang menjadi hitam putih.
Keren ya?
Seperti film-film klasik.

Jangan mengasihaninya.
Dia tidak butuh.

Dia adalah si sombong.
Yang luar biasa pintar menutupi setiap luka dengan tawanya.
Dia adalah si angkuh.
Yang luar biasa cerdas mengkaca-matai sedihnya.

Dia adalah si pongah.
Yang tidak juga rela mengalamatkan kegalauannya--bahkan saat sajak ini mulai ia tulis sampai akhirnya mungkin dibaca oleh orang-orang yang tidak akan mengerti dirinya.


-DITA PURNAMA 16.07.2010


pic source klik here

Comments

Popular posts from this blog

FRIENDS, LOVERS OR NOTHING

Triple Booking!

June Comes Too Soon