Titik Temu yang Jemu
pic is taken from here
Kita kehilangan titik temu.
Kita memandang ke belakang untuk bayang-bayang yang sudah hilang.
Yang sudah buram karena tergores bekas luka dari yang tak peka.
Belajar tenang, membiarkan tergenang, jatuh, sakit, diam, lalu menang.
Kita menganalisa apa yang sudah jadi sisa-sisa. Yang dulu terlalu kita bangga, terlalu kita jaga.
Dan segala yang terlalu pada hakikatnya akan perlahan berlalu. Yang kita pegang terlalu erat kemudian berkarat, yang kita buai dengan bebas kemudian bablas. Letih? Iya, pasti.
Kita. Aku, kamu. Dan kemudian ada tamu. Yang aku tidak undang, tapi kamu suka pandang.
Kita. Aku, kamu. Dan kemudian kehilangan titik temu.
Kita mengalah karena sudah sama-sama lelah.
Entah karena kamu yang gegabah, aku yang kurang tabah, kepandaianmu membolak-balik jubah, atau doa-doaku yang kian hari berkurang sehingga Tuhan enggan mengijabah. Atau memang kombinasi dari semuanya, entahlah.
Kita kini hanya jadi kata. Tak lagi satu tafsir karena segala yang kita damba di awal itu kini menemukan titik akhir.
Aku menulis tanpa ingin kamu gubris. Karena memang sudah tidak ada lagi serpihan yang harus diiris.
Semuanya habis. Dengan segala cara yang kadang tak bisa diterima kesehatan akal kita yang kian menipis.
Tidak heran jika sendiri terdengar agak ngeri. Tapi tidak ada yang lebih seram dari bergandengan di kapal yang pasti karam. Hanya menunggu mati dan diam tenggelam.
Tidak heran jika perpisahan sarat dengan depresi. Tapi tidak ada yang lebih menyedihkan dari kebersamaan yang didasarkan pada pemakluman akan kesalahan-kesalahan. Hidup memang tentang berbuat salah. Tapi salah yang selalu sama tanpa ada niat berubah, itu yang membuat kesabaran melelah.
Tidak heran jika berjauhan memancing rindu dan kenangan. Tapi tidak ada yang lebih hampa dari kesatuan yang diselimuti ketidakpercayaan.
Kamu, kenormalanmu, khilafmu, gilamu, maafmu.
Aku, ketidaknormalanku, sedihku, benciku, angkuhku.
Aku, kamu, jemu. Kita lagi-lagi kehilangan titik temu.
Sudah salah arah dan sarat amarah.
Tapi…hey, setidaknya kita masih punya kaki dan hati. Untuk melangkah pergi dan (mungkin) merasa lagi.
Comments
Post a Comment